UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan (2)

Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 Tahun 1986


Perihal: 
Perkawinan beda agama

Para Pihak: 
Andi Vonny Gani P

Lampiran File: 

Nomor Putusan: 
1400 K/Pdt/1986

Tingkat Proses: 

Tahun Register: 

Jenis Lembaga Peradilan: 

Jenis Perkara: 

Tanggal Musyawarah: 
20-01-1989

Tanggal Dibacakan: 
20-01-1989

Hakim: 

Hakim Ketua: 


Bunyi Putusan: 
Mengabulkan permohonan kasasi untuk sebagian; Membatalkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 382/Pdt/P/1986/PN.JKT.PST sejauh mengenai penolakan melangsukan perkawinan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan No. 655/1.755.4/CS/1986; Membatalkan surat penolakan Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan No. 655/1.755.4/CS/1986; Memerintahkan Pegawai Pencatat pada Kantor Catatan Sipil Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Vonny Gani P. dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan setelah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang; Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi untuk selebihnya; Menghukum pemohon membayar biaya perkara kasasi ini sebesar Rp. 20.000,-

Kaidah Hukum: 
Sekalipun pemohon beragama Islam dan Menurut Ketentuan pasal 63 ayat (1) a UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa apabila diperlukan campur tangan Pengadilan, maka hal itu merupakan wewenang dari Pengadilan Agama, namun karena penolakan melaksanakan perkawinan didasarkan pada perbedaan agama maka jelas bahwa alasan penolakan tersebut tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksudkan pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974, maka sudahlah tepat apabila kasus a quo menjadi kewenangan Pengadilan Negeri dan bukan Pengadilan Agama. UU No. 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan apapun yang merupakan larangan perkawinan karena perbedaan agama, hal mana adalah sejalan dengan pasal 27 UUD 1945 yang menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama. Asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing. Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di dalam UU No. 1 Tahun 1974, dan di segi lain UU Produk kolonial walaupun mengatur perkawinan antara orang-orang yang tunduk kepada hukum yang berlainan namun karena UU tersebut tidak mungkin dapat dipakai karena perbedaan prinsip maupun falsafah yang amat lebar antara UU No. 1 Tahun 1974 maka menghadapi kasus a quo terdapat kekosongan hukum. Di samping adanya kekosongan hukum maka juga di dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik/hetrogen tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama, maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut diatas dibiarkan tidak terpecahkan secara hukum karena membiarkan masalah tersebut berlarut-larut pasati akan menimbulkan dampak negatif di segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum positif, maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah dapat ditemukan dan ditentukan hukumnya. Bahwa menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 pegawai pencatat untuk perkawinan menurut agama Islam adalah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1974 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk, sedangkan bagi mereka yang beragama selain agama Islam adalah pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil. Dengan demikian bagi pemohon yang beragama Islam dan yang akan melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang beragama Kristen Protestan tidak mungkin melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk. Oleh karenanya perlu ditemukan jawaban apakah mereka dapat melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagai satu-satunya kemungkinan, sebab di luar itu tidak ada kemungkinan lagi untuk melangsungkan perkawinan. Di dalam kasus ini pemohon yang beragama Islam telah mengajukan permohonan untuk melangsungkan paerkawinan dengan seorang pria yang beragama Kristen Protestan kepada kantor catatan sipil di Jakarta, harus ditafsirkan bahwa pemohon berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam dan dengan demikian haruslah ditafsirkan pula bahwa pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (in casu agama Islam). sehingga pasal 8 sub f UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkannya perkawinan yang mereka kehendaki. Dalam hal yang demikian seharusnya kantor catatan sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan perkawinan yang kedua calon suami istri tidak beragama Islam wajib menerima permohonan pemohon